Gunung Sibayak Pemberi Kehidupan

Anggota tim Ekspedisi Cincin Api Kompas, berada di batuan dan belerang di kaldera Gunung Sibayak (2,212 mdpl), Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Selasa (26/7/2011)

Medan - Udara sejuk membuat sinar matahari terasa lembut. Hamparan ladang sayur menghijau, memanjakan mata. Berseling dengan tanaman jeruk yang menguning. Ungkapan ”Tanah Karo Simalem”, Karo yang nyaman dan menyenangkan, terasa pas betul.

Suasana itu tak lepas dari kehadiran gunung-gunung yang mengelilingi Karo, utamanya dua gunung api aktif, Sibayak dan Sinabung. Diberkahi tanah subur hasil pelapukan material vulkanik selama ribuan tahun, limpahan air dari lereng pegunungan, dan udara yang sejuk menjadikan Karo sebagai pusat sayuran terbesar di Sumatera Utara.

Kabupaten Karo terletak sekitar 77 kilometer arah selatan Medan. Berada di ketinggian 800-1.400 mdpl, suhu udara di sana terasa sejuk, rata-rata 17-20 derajat celsius. Sayuran dan buah-buahan menjadi denyut nadi masyarakat setempat. Sebanyak 72,3 persen dari 370.619 penduduk Kabupaten Karo hidup sebagai petani.

Sri Alem Sembiring, Antropolog dari Universitas Sumatera Utara, mengungkapkan, kepiawaian masyarakat Karo dalam bertani diwariskan turun-temurun. Mereka mengembangkan

pola bertani yang mencampur berbagai jenis tanaman dalam satu lahan. ”Tanpa sadar mereka memerhatikan keanekaragaman hayati,” ujarnya.

Pada tahun 1950-an, petani Karo sempat mengalami masa keemasan dengan mengekspor sayuran ke Singapura dan Malaysia.

Ruang spiritual

Ketergantungan ekonomi terhadap lingkungan membuat gunung-gunung mendapat tempat tinggi dalam alam pikir warga. Gunung juga menjadi ruang spiritual bagi masyarakat Karo.

Di Gunung Sibayak, ruang-ruang spiritual itu tampak jelas. Suatu siang di pertengahan Juli 2001, di kolam pemandian air panas Lau Debuk-Debuk, Sabar Kita Karo dan Baginta Simanjorang menggelar tikar dan menyusun sesaji dengan arah hadap ke Gunung Sibayak.

Sabar berkeramas di salah satu kolam air panas, kemudian membungkus kepalanya dengan kain putih. Di atas tikar mereka menggelar sesaji berupa rokok yang dijepitkan ke ranting, kelapa, pisang, dan sirih. Bagi Sabar, Sibayak merupakan rumah leluhur. Sebulan sekali dia melakukan ritual di sana.

Air panas Lau Debuk-Debuk di ketinggian 1.500 mdpl itu merupakan salah satu titik keramat di kawasan Sibayak. Mata air panas muncul melalui retakan aliran lava di daerah selatan Sibayak. Selain di kolam Lau Debuk-Debuk, air panas itu ditampung dan dikelola warga sebagai tempat pemandian air panas.

Selain Lau Debuk-Debuk, Sabar mengatakan, ada beberapa lokasi di Sibayak yang dianggapnya sakral, seperti batu marlunglung dan batu takal (kepala) kuda di Puncak Sibayak.

Sri Alem Sembiring bersama sejumlah mahasiswa pernah mengidentifikasi titik-titik yang dikeramatkan di Sibayak. ”Titik-titik itu berupa sumber air panas, tebing, dan batu yang juga merupakan titik rawan bagi keselamatan orang kampung,” ujarnya.

Titik-titik itu menjadi tempat khusus yang dirawat, dijaga, dan tidak boleh diganggu oleh warga yang masih meyakininya. Jika tempat itu terganggu, mereka meyakini akan terjadi sesuatu yang buruk terhadap kampung mereka. Selain itu, titik-titik ritual ini menjadi sumber penting pengetahuan lokal.

Keberadaan air panas sebetulnya menjadi pertanda aktifnya Gunung Sibayak (2.094 mdpl). Sibayak termasuk gunung api tipe B lantaran tidak terdapat kegiatan magmatik sejak tahun 1600. Tanda aktifnya gunung itu lebih jelas lagi dengan adanya hamparan ladang solfatara berupa ”noda” kekuningan belerang dengan uap panas yang menyembur dari dalam bumi.

Titik spiritual lain ada di takal kuda, seperti disebutkan oleh Sabar. Konon, lantaran bentuknya mirip dengan kepala kuda jika dari jauh, batuan ini disebut takal kuda.

Selain bebatuannya yang disakralkan, proses pendakian ke Sibayak juga memiliki makna sendiri. Sebagian masyarakat Karo masih percaya, siapa yang ingin kaya, sebaiknya mendaki Sibayak. Dalam bahasa Karo, sibayak bisa diartikan ”orang kaya”.

Legenda yang menyelimuti gunung ini memang terkait hasrat manusia akan pengejaran materi walaupun tak jarang kemudian berbuah petaka yang disesali selamanya. Kisahnya tentang Kandibata, tabib sakti yang mengabaikan putrinya yang sakit demi mengejar bayaran dari menyembuhkan warga di negeri lain.

Dari Puncak Sibayak pagi itu, ”Tanah Karo Simalem” terlihat menghampar luas, hijau, dan menyimpan kekayaan. (kompas)

0 komentar:

Posting Komentar

  • description

Video Gallery

Streaming Radio Karo