Kemiskinan di Perdesaan Sumatra Barat Meningkat

Pedesaan Sumatra Barat

Program peningkatan kesejahteraan masyarakat Sumbar di perdesaan harus ditingkatkan. Pasalnya, sepanjang 2010 terjadi peningkatan angka kemiskinan di perdesaan disertai penurunan distribusi pengeluaran masyarakat di Sumbar. Kenyataan ini tentunya berbanding terbalik dengan gembar-gembor kesuksesan program yang dijalankan pemprov dan pemkab di Sumbar.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumbar, kondisi perekonomian di Sumbar tahun 2010 menunjukkan adanya perbaikan yang digambarkan dari peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini berbanding terbalik dengan distribusi pengeluaran penduduk yang umumnya memburuk dibandingkan 2009. Penduduk yang termasuk 40 persen berpengeluaran rendah, mengalami penurunan pengeluaran dari 23,26 persen tahun 2009 menjadi 20,55 persen.

Begitu juga kelompok 40 persen berpengeluaran sedang yakni dari 39,38 persen menjadi 39,24 persen. Sementara, pengeluaran kelompok 20 persen berpengeluaran tinggi meningkat dari 37,36 persen menjadi 40,22 persen. Kondisi ini tentunya membuat indeks Gini (distribusi pendapatan) Sumbar meningkat dari 0,30 persen menjadi 0,33 persen.

Kondisi itu tidak akan bermanfaat secara maksimal bagi peningkatan kesejahtaeraan penduduk jika terjadi ketimpangan pendapatan penduduk. Berdasarkan data susenas 2009 dan Susenas Panel 2010 menunjukkan ada kecenderungan ketimpangan pendapatan di Sumbar yang sedikit meningkat dari 2009 ke 2010 lalu. Hal tersebut diindikasi dari persentase pengeluaran penduduk pada golongan pengeluaran tertinggi makin meningkat sedangkan pada lima golongan cenderung menurun.

Kepala BPS Sumbar, Muchsin Ayub dalam jawaban pertanyaan kunjungan kerja DPR RI tahun 2011 mengungkapkan terjadi penurunan persentase penduduk miskin di Sumbar sejak 2 tahun belakangan. Namun, peningkatan kesejahteraan penduduk masih perlu mendapat perhatian khusus. Sebab, kemiskinan masih terkonsentrasi di perdesaan di Sumbar. Selain itu, secara absolute penduduk miskin meningkat dari 2009 lalu.

“Tahun 2010 lalu, gap antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan mengalami peningkatan khususnya diperdesaan. Masyarakat miskindi daerah perdesaan semaki terpuruk karena pendapatan yang didekati dengan data pengeluaran semakin jaduh dari garis kemiskinan,” jelasnya.

Berdasarkan data Susenas, jumlah penduduk miskin di Sumbar tahun 2010 untuk daerah perkotaan mencapai 106.181 jiwa (6,84 persen) atau menurun dari tahun 2009 lalu yakni 115.780 jiwa (7,5 persen). Sementara itu untuk penduduk diperdesaan justru meningkat dari 323.843 jiwa (10,88 persen) dari 313.480 jiwa (10,6 persen).

Penurunan distribusi pengeluaran dan peningkatan kemiskinan, jelas Kabid Ekonomi Bapeda Sumbar, Reti Wafda merupakan imbas dari gempa 2009 lalu. Sejak saat itu, kondisi perekonomian Sumbar sempat layu. Laju pertumbuhan ekonomi (PE) pun merosot tajam dari 2008 yakni 6,37 persen menjadi 4,5 persen dan akhirnya di tahun 2010 makin menurun menjadi 4,16 persen. Artinya, terjadi penurunan PE sebanyak 2,21 persen.

Kondisi ini tentunya berbeda jauh dari target yang hendak dicapai pemprov yakni 6,5 persen.
Menurunnya laju PE, kata Reti disebabkan oleh krisis global dimana terjadi penurunan nilai ekspor, impor dan rencahnya konsumsi pemerintah dan konsumsi masyarakat (rumah tangga). Bagaimana tidak, dengan volume ekspor yang sama ditahun sebelumnya nilai ekspor Sumbar jatuh drastic. Harga sawit dan olahan karet yang menjadi primadona ekspor harus turun hingga 46 persen dari normal.

“Belum lagi dengan ikut menurunya konsumsi rumah tangga, maka laju pertumbuhan pun semakin menurun. Saat ini laju konsumsi rumah tangga berkurang 12,7 persen. Ini berdampak pada laju PE,”tuturnya.

Salah satu program yang boleh dikatakan tidak berjalan efektif yakni Program penyediaan Kredit Mikro Nagari (KMN) 2010. Program yang digagas pemprov Sumbar melalui Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) untuk percepatan penanggulangan kemiskinan (PPK) terkendala dana sharing dari kabupaten/kota. Pemprov telah menyediakan Rp 25 miliar untuk program, tapi hanya Rp 19 miliar yang diserap ke-15 kabupaten kota.

Kepala Bapeda Sumbar, Rahmat Syahni mengungkapkan ketidak mampuan daerah dalam menyediakan dana pendamping menyebabkan pemprov tidak bisa menurunkan dana KMN seutuhnya. Dana yang dialokasikan pemprov sebanyak Rp 300 juta per nagari itu nyatanya tidak bisa terealisasi sesuai rencana di awal tahun 2010 lalu.
“Ada beberapa nagari yang tidak menyerap seutuhnya dana KMN ini. Diantaranya Kabupaten Mentawai, Kabupaten Solok, Solok Selatan dan Sawah Lunto,”tutur Rahmat saat ditemui usai rapat pengesahan APBD Sumbar 2011 di DPRD Sumbar.

Program KMN yang memberi stimulasi tambahan modal bagi keluarga miskin di tingkat Nagari/ Desa guna mengembangkan usaha mandiri dan berkelanjutan itu tak berjalan sesuai rencana. Sehingga, peningkatan pendapatan masyarakat miskin melalui pemberdayaan sosial dan ekonomi belum terwujud karena lemahnya dukungan dari kabupaten.

Sumber Berita